Saya, Asisten Saya dan Tukang Gigi


Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Peraturan tersebut diperjelas dengan pasal 1, pasal 2, pasal 3 dan pasal 4. Pasal 1 berbunyi, “Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi dan petunjuk pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Pasal 2 poin 1 berbunyi “Tukang Gigi yang telah melaksanakan pekerjaannya berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi masih dapat menjalankan pekerjaannya sebagai Tukang Gigi samapi berlakunya Peraturan ini dan/atau habis masa berlaku izin yang bersangkutan, dan tidak dapat diperpanjang kembali”. Poin 1 ini diperjelas dengan poin 2 yang berbunyi “Kewenangan pekerjaan Tukang Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi: a. Membuat sebagian/seluruh gigi tiruan lepasan dari akrilik;dan b. Memasang gigi tiruan lepasan”. Pasal 3 berbunyi, “ Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Puskesmas harus membina Tukang Gigi yang telah melakukan pekerjaan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 dalam rangka perlindungan kepada masyarakat”. Pasal 4 berbunyi, “ Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan”.
Berdasarkan latar belakang Peraturan Menteri tersebut, dapat disimpulkan bahwa tukang gigi tidak berhak melakukan pekerjaan yang sama dengan dokter gigi kecuali membuat gigi tiruan lepasan dan memasangkannya. Peraturan Menteri ini diundangkan pada tanggal 30 September 2011, maka sejak tanggal 30 Maret 2012 tukang gigi sudah tidak berhak untuk melakukan pekerjaannya kecuali 2 pekerjaan yang sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011.
Adanya Peraturan Menteri Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 ditolak keras oleh tukang gigi di Indonesia dengan alasan bahwa keberadaan Tukang Gigi dibutuhkan oleh masyarakat menengah ke bawah. Menurut saya pribadi tolakan keras para tukang gigi itu,  disebabkan karena mereka khawatir dengan pekerjaan mereka yang harus sesuai dengan Peraturan Menteri akan menyebabkan pendapatan mereka berkurang sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.
Sementara dari segi dokter giginya sendiri, mereka sangat mendukung adanya Peraturan Menteri tersebut. Para dokter gigi berpendapat bahwa dengan adanya peraturan itu bisa memperjelas alur pelayanan kedokteran gigi, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang meminta pelayanan kedokteran ke tukang gigi yang ditilai banyak sekali kerugian yang didapat oleh masyarakat itu sendiri ketika mereka harus meminta pelayanan ke tukang gigi. Dalam sudut pandang ini, dokter gigi lebih mementingkan kepentingan masyarakat dan pasiennya, bukan karena pendapatan pribadi.
Dari segi lain, dokter gigi sebenarnya membutuhkan tukang gigi untuk membantu melaksanakan pelayanan kedokterannya. Salah satunya yaitu dokter gigi dengan jumlah pasien yang cukup banyak, tidak akan bisa mengerjakan hal-hal yang bersifat tehnik contohnya pembuatan gigi tiruan. Sebaliknya tukang gigi yang minim akan pengetahuan tentang keilmuan giginya, mebutuhkan dokter gigi untuk menentukan apakah seorang pasien tersebut layak menerima suatu perawatannya atau tidak.
Faktanya, tidak jarang seorang dokter gigi  yang memakai jasa tukang gigi untuk membuatkan gigi tiruan yang akan dipakaikan kepada pasiennya. Bulan januari yang lalu, saya melihat sendiri seorang tukang gigi datang ke tempat praktek dokter gigi untuk memberikan hasil pembuatan gigi tiruan yang dikerjakan oleh tukang gigi tersebut. Setelah saya konfirmasi ke perawat dokter tersebut mengenai seberapa sering tukang gigi itu datang dan bekerja sama dengan dokter giginya, ternyata jawaban yang dilontarkan adalah sering dan bahkan tidak terhitung lagi karena terlalu seringnya mereka melakukan kerjasama ini. Tidak hanya dokter gigi yang itu saja, beberapa bulan yang lalu saya bertanya kepada teman saya yang merupakan anak dari dokter gigi juga, ternyata jawabannya sama orang tuanya juga menggunakan jasa tukang gigi untuk membantu pembuatan gigi tiruan atau orto lepasan yang akan digunakan oleh pasiennya.
Selanjutnya fakta tentang tukang gigi yang membutuhkan dokter gigi untuk melaksanakan pekerjaannya. Fakta tersebut saya alami secara langsung ditempat praktek dokter yang sama, ketika datang seorang pasien yang meminta untuk dicabut giginya karena akan dipasang gigi palsu oleh tukang gigi. Kedatangannya ke tempat dokter gigi tersebut atas rujukan tukang giginya sendiri yang menyarankan agar mencabut gigi di dokter gigi terlebih dahulu. Dokter gigi yang menerima rujukan itu berkata bahwa ini bukan hal yang pertama, sering ada pasien yang meminta membuatkan gigi tiruan kepada tukang gigi tapi sebelumnya dirujuk untuk dicabut sisa giginya di dokter gigi.
Dari fakta tersebut, dapat ditarik suatu kalimat bahwa antara dokter gigi dan tukang gigi itu saling membutuhkan. Mereka sama-sama mebutuhkan satu sama lain untuk membantu menyelesaikan pekerjaannua. Sehingga saya berpendapat bagaimana jika dokter gigi dan tukang gigi melakukan kerjasama untuk melayani masyarakat. Maksudnya, dokter gigi yang terbiasa dibantu pekerjaanya oleh perawat gigi di tempat prakteknya, sekarang ditambah dengan adanya tukang gigi. Dalam hal ini, tugas seorang dokter gigi tetap sesuai dengan kompetensinya misalkan memeriksa, melakukan anamnesis,dan memberikan perawatan terhadap pasiennya yang dibantu oleh seorang perawat gigi. Sedangkan tukang gigi, bertugas untuk mengerjakan hal-hal yang bersifat teknik. Tukang gigi disini hanya sebatas membuatkan, untuk perawatan pasien tetap dilakukan oleh seorang dokter gigi.
Dengan adanya kerjasama ini, bisa jadi para tukang gigi akan menerima secara lapang tentang Peraturan Menteri Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011. Dengan begitu, pelayanan kedokteran gigi akan dilakukan oleh seseorang yang berwenang yaitu dokter gigi tanpa adanya penyalahgunaan dari tukang gigi. Selain itu, kerugian masyarakat atau pasien akan diminimalisir, karena pasien telah ditangani oleh orang yang ahli dibidangnya.
Namun dengan ide ini, belum tentu semua dokter gigi dan tukang gigi mau menerimanya dengan begitu saja. Mereka pasti memikirkan kerjasama ini dengan matang. Salah satu trik agar dokter gigi dan tukang gigi mau melakukan kerjasama ini yaitu dengan cara penyuluhan mengenai fungsi serta keuntungan yang akan diperoleh jika mereka bekerja sama.
Jadi intinya, untuk membantu terlaksananya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 harus ada suatu pekerjaan dan kerjasama yang menguntungkan bagi tukang gigi. Salah satu kerjasamanya yaitu bersama-sama dengan dokter gigi memberikan pelayanan kepada masyarakat. Namun bedanya dalam kerjasama ini, tukang gigi tidak berkaitan langsung dengan pasien. Disini yang berkaitan langsung sama pasien adalah dokter gigi. Tukang gigi hanya menunggu perintah dari dokternya.
Jadi kita selaku mahasiwa yang nantinya akan menjadi seorang dokter gigi, bersama-sama membantu agar terlaksananya Peraturan Menteri Kesehatan tersebut demi kebaikan masyarakat Indonesia.
Kelak mungkin ketika saya menjadi seorang dokter gigi, berharap di tempat praktek saya nanti akan ada 3 orang profesi berbeda, yaitu saya, asisten saya (perawat gigi) dan tukang gigi.

Komentar

Postingan Populer